Catatan Tentang Seminar


Contoh berita bias gender:-          Tak suka mengeluh
Di Twitter, mengeluh tentang pekerjaan. Di Blackberry Messenger, mengeluh tentang teman yang menyebalkan. Di status Facebook, mengeluh tentang gebetan. Saat bertemu, mengeluh tentang perilaku si adik yang bikin kesal. Mengeluh itu manusiawi, tapi jika yang keluar dari mulut kita hanya keluhan dan hal-hal negatif, bukan hanya pria yang akan menjauh, tapi juga teman-teman. Ingat, keluhan itu menular dan bisa merusak mood orang lain yang sedang bahagia. 
                Tulisan di handout dengan font kira-kira 9 pt itu sedang dibahas oleh Luviana, anggota AJI. Dia lagi kasih materi tentang Jurnalistik Berperspektif Gender saat itu, Rabu 20 Juni kemarin di Unisba. Kirain, cuma sastra aja yang penulisannya bisa pake perspektif gender, ya, saya jadi inget gaya penulisannya Virginia Woolf di novelnya yang berjudul Mrs. Dalloway yang narasinya yang sangat feminis itu, dimana (memang disadari oleh saya) bahwa jalan pemikiran perempuan itu nggak bisa fokus. Ketika dia ngomongin baju misalnya, beberapa detik kemudian bisa nyambung ke hal lain yang sama sekali nggak ada hubungannya, let’s say berakhir pada obrolan soal kambing. Nggak percaya? Ikutin deh perempuan-perempuan ngobrol, you’ll understand that Woolf was absolutely right. Saya baru tau ternyata sastra dan jurnalistik juga punya “identitas”, entahkah itu sastra perempuan atau jurnalistik perempuan, dimana tentunya, keduanya berbeda dari identitas sastra dan jurnalistik dengan ciri maskulin seperti yang dikenal selama ini.    
                Kembali ke soal seminar, saya saat itu datang ke seminar bareng temen saya di Suaka, Kryptonite dan Mariam. Kryptonite, tiba-tiba nyeletuk.
                “Mengeluh itu budaya feminis,” katanya sambil menengok ke arah saya. 
Matanya waktu itu sayu akibat tidur hanya 2 jam karena nonton Euro Match. Apa sih yang bisa ngalihin anak laki-laki dari sepak bola? Nggak ada. Kecuali mati listrik.
                “Aku gitu nggak?”
Aku tanggapi dengan pertanyaan normal yang sepertinya bakal ditanyain juga oleh perempuan-perempuan lain kalo dikatain gini. Aku sebenernya udah tau jawabannya. Haha, pekerjaan paling nggak penting adalah memang nanyain sesuatu yang kamu udah tau jawabannya.
                Seperti apa yang di pikiranku. Apa yang dia jawab?
                “Iya.” Katanya pelan diakhiri dengan nada turun seperti pelafalan titik. Nadanya berada di do.
               ***

                Bicara soal mengeluh, kalo iya pengen dibandingin nih. Perempuan punya porsi lebih banyak daripada laki-laki. Dan ini menjadi salah satu alasan mengapa banyak perempuan merasa dibedakan dan akhirnya lahirlah banyak (sekali) pemikiran dan pembicaraan soal kesetaraan gender dimana-mana. Konteksnya emang meluas, istilah feminisme udah nggak laku lagi. Banyak orang sudah pakai istilah kesetaraan gender. Sebenarnya di seminar ini hanya membahas soal perempuan di media. Gimana kabar jurnalis perempuan saat ini. Ketika mereka, harus cuti melahirkan, cuti hamil, sakit perut haid, belum ngurusin anak dll dan di waktu bersamaan misalnya mereka juga harus liputan, nulis dan semua halnya. Nah, kata Luviana, hal-hal itu belum diperhatikan oleh pemilik media.
                Saya selalu inget, kalimat yang ada di buku Second Sex, tulisan Simone de Beauvoir, seorang feminis Perancis, katanya, kemanusiaan adalah laki-laki, atau kehidupan adalah laki-laki. Dihubungkan ke folk statement soal perempuan berasal dari tulang rusuk laki-laki dan berkesimpulan bahwa perempuan itu sebenernya nggak ada. Mereka berasal dari laki-laki, mereka adalah bagian dari laki-laki.
                Kesetaraan gender ini menawarkan kesamaan atas perempuan dan laki-laki. Katanya, perempuan ingin disamakan (dalam beberapa hal sih saya nggak mau) haknya, kesempatannya dan lain-lain. Sebenarnya nggak ada yang namanya pekerjaan laki-laki dan pekerjaan perempuan. Disini, emang sih, kesetaraan gender nggak berat sebelah. Nggak selalu berpihak pada perempuan, man is included, too. Dosen sastra saya, Pak Awang (a lecturer who admired by all girl students at my major) pernah jelasin soal masalah dia tentang hal ini, dulu pas anaknya masih kecil, dia pernah gendong anaknya di luar rumah, kemudian ada tetangganya nanyain ibunya (istri Pak Awang) kemana, Pak Awang ini sakit hati, iya dong.
                “Saya gendong anak saya karena saya sayang sama dia. Masak saya nggak boleh gendong anak saya? Emang gendong anak pake (maaf) penis?” begitu katanya, diikuti oleh riuh rendah suara-suara temen sekelas. Rata-rata ketawa sambil mikir.
                Catatan ini akan bersambung secepatnya…
                Hehe. 

Comments

  1. nungguin next post ya. bneran ada loh ya! hahaha

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts