Manusia 24 Jam

Dulu saat jadi mahasiswa, saya punya waktu 18-19 jam sehari untuk jadi produktif. Di 18 jam itu isinya adalah:

  • -          kuliah
  • -          eksis di organisasi
  • -          ketawa-ketawa
  • -          stress ngerjain tugas
  • -          stress dikejar deadline tulisan
  • -          surfing cari-cari pengetahuan tapi akhirnya menclok di web-web konspirasi, vemale dan sosmed
  • -          galau
  • -          sakit maag
  • -          mencari jati diri (menclok di berbagai kegiatan dari mulai ngajar, motret2 ngabisin duit dan ngikut2 berbagai komunitas)
  • -          belajar corel dan movie maker
  • -          ngedit foto


Kegiatan-kegiatan tersebut saya pukul rata selama 4 tahun lebih saya kuliah. Frekuensinya tergantung semester. Di awal2 semester, waktu saya masih banyak buat kuliah dan mencari jati diri, waktu saya banyak dihabiskan untuk belajar mengejar nilai, makin tua, setelah kayaknya menemukan jati diri (masih terus berlangsung sampai sekarang saya kerja, tapi setidaknya sudah lebih focus) saya jadi lebih banyak ngabisin waktu disitu dan lupa sama kuliah. Hehe. Yang terakhir tadi jangan diikutin, ya. Nah, berlanjut ke akhir-akhir kuliah, saya mulai mikirin gimana cara saya punya tempat di mana saya bisa diterima, ngasih pengaruh positif, dan sama sekali gak mikirin kepragmatisan lainnya, seperti soal uang dan penghargaan.

Lalu, setelah lulus di Desember 2013 kemarin, accidentally diterima kerja setelah sebelumnya ditolak di tempat impian ini. Mindset saya mulai berubah. Setelah 9 bulan bekerja di penerbitan, jam produktif saya mulai terbatas yaitu jadi sekitar 12 jam saja, dimana isinya:

  • -          kerja
  • -          pusing
  • -          galau
  • -          mikirin kapan waktu nulis cerita anak atau artikel
  • -          mikirin produk apa aja yang belum dibikin
  • -          kebayang-bayang target produksi yang belum kekejar
  • -          mikirin gaji pas-pasan
  • -          mikirin apakah aku udah bagus kerjanya?
  • -          Kalau lagi pusing pengen keluar, kalo lagi betah pengen cepet-cepet jadi pegawai
  • -          Belajar indesign dan excel, spreadsheet juga (masih niat)
  • -          Nahan sekuat tenaga untuk nggak boros

Jelas, kan, perbedaannya? Di situ lebih banyak ke pekerjaan, dan untuk mereka yang mulai mencoba hidup mandiri, uang adalah alasan mereka bisa terus produktif. Mau baca buku dan sering ikut diskusi di mana-mana juga, kan, butuh ongkos, toh? Hmm, hidup.

Sekarang, makin tua, saya makin mikir. Apakah saya masih punya banyak waktu mengisi 24 jam nanti? Sekarang udah kerasa ketika kita terikat suatu kegiatan, misalnya kerja, waktu banyak habis untuk ngabisin 24 jam. Mungkin kita bisa setuju ketika pekerjaan itu menyita pikiran juga ketika sampai di rumah. Let’s say, untuk mereka yang kerja dikejar deadline.

Terikat dalam suatu kegiatan dengan jumlah yang banyak juga kudu dipikirkan matang-matang. Ya, kecuali ada yang jual waktu nambah berapa jam misalnya. Tapi, kan, ngga. Waktu ya dari jaman dulu juga cuma 24 jam, gatau sih di masa depan, ketika misalnya rotasi bumi makin menjauh dari matahari dan tekanan gravitasi berkurang, waktu kita mungkin bisa lebih lama. Bolehlah kita setuju bahwa mempunyai keluarga adalah hal yang terikat. Mungkin lebih dari pekerjaan. Bayangkan ketika kita sudah punya anak, kedua orang tuanya bekerja, maka si anak punya “jadwal-jadwal” kosong yang seharusnya dia isi dengan bercengkerama dengan keluarga, kalau dia nakal pasti dia isi dengan main. Main kan definisinya luas. Bisa negatif dan positif.
                
    Jadi, intinya, karena waktu hanya 24 jam. Isilah dengan kegiatan yang berguna, kegiatan yang bikin kamu bisa hidup dengannya. Kuliah doang juga nonsense kalo nggak diisi dengan kegiatan lain, kerja juga meanless ketika kita nggak updgrade diri jadi lebih baik.

Comments

Popular Posts