Ada Gobind ke Kantor

Senin ini niat absen kerja kuurungkan setelah ingat bahwa Gobind akan datang ke kantor. Aku dapat jatah libur karena ditugaskan kerja pada akhir pekan kemarin. Sambil ngantuk, kupaksakan badanku berangkat kerja demi melihat Gobind Vashdev. Siapa dia? Aku juga baru tahu beberapa akhir pekan ini setelah Yulia, teman seruanganku, terus-terusan bercerita tentangnya. Dia berhasil membuat trending topic ruangan kami menjadi ‘Gobind, Gobind, dan Gobind’. She is like a die hard fans of him. Dari Yulia aku mendapat gambaran tentang Gobind. Singkatnya dia adalah penulis penganut kepercayaan Hindu yang mendeklarasikan diri untuk tidak menggunakan alas kaki dan bahan-bahan kimia untuk membersihkan diri dan sangat bijak dalam menghadapi masalah. Segitu saja? Rupanya tidak. Dia juga peserta Penghuni Terakhir 2 di ANTV tahun 2004-2005. Ciyee.

“Pokoknya keren banget, deh. Semacem sama Dee dan suaminya.” kata Yulia suatu hari. Kemudian aku bingung bagaimana mendefiniskan ‘keren banget’ ini menjadi susunan kata sifat untuk seorang Gobind.
               
Acara dimulai jam 3 sore, ketika kami berada di waktu yang paling ngantuk dan lapar.Tapi, mungkin karena akan kedatangan Gobind semua ingin ikut berpartisipasi (Iya, kan? Bener, kan?). Gobind dijemput oleh atasanku, Kang Rama. Sebelum akhirnya dijemput, beliau mengeluhkan bahwa Gobind akan mengabari lagi nanti tempat dimana harus menjemputnya, seperberapa waktu dari acara yang sudah direncanakan. Dalam hati kupikir, ini orang belum kenal aja udah nyusahin. Gimana ntar kalo udah dateng.


Sampai akhirnya Gobind pun datang di tengah-tengah kami. Pakaiannya sangat sederhana (untuk ukuran tahun 2015 ditengah badai online shop instagram). Nah, bagi yang sudah menonton film Gandhi (diperankan oleh Ben Kingsley rilis tahun 1982), pasti ingat bagaimana sederhananya Gandhi memakai kain yang dia sulam sendiri. Gobind tentunya tidak memakai kain seperti Gandhi, dia mengenakan kemeja putih berlengan pendek, dan celana katun warna khaki yang mempunyai tali serut di pinggangnya (aku melihatnya berjinjit saat acara, hehe). Ingat bahwa Gobind tidak memakai alas kaki, aku, dan tiga temanku Yulia, Nabila, dan Riska pun ingin ikut berpartisipasi dengan memakai sendal jepit saja, agar lebih khidmat. Tapi rupanya niat kami gagal karena ditegur oleh HRD. Hehe.

Gobind mengawali talkshow dengan meminta izin untuk berdiri di panggung yang berupa undakan kecil di tengah-tengah ruangan. Dia mengimbau kami untuk mematikan ponsel, yang saking seriusnya imbauan itu sampai dia memutar video tentang smoking carma. Aku pun mematikan ponsel, yang akhirnya kupikir, kenapa nggak dibikin senyap aja meureun. Gobind mengaku sebagai orang berkemampuan kinestetik. Jadi, sepanjang talkshow dia mengiringi bicaranya dengan banyak bergerak. Dia banyak sekali menyelipkan trik-trik sulap tangan ringan, yang anehnya banyak yang tidak aku bisa.

Badan Gobind yang tinggi semampai membuatku cukup pegal memerhatikannya. Aku duduk paling depan tepat di depannya. Rupanya memposisikan kepala dengan nyaman sambil memerhatikannya berbicara cukup membuatku sibuk. Ini akibat dari orang yang audiovisual. Kalau mendengarkan, harus melihat asal suaranya juga.

Gobind itu manusia dengan banyak kata bijak. Dia kayak makanan yang banyak mengandung vitamin. Banyak sekali kata-kata bijak yang mengalir dari bibirnya. Berikut kata-kata bijak yang aku rekam:

-         “Tujuan menjadi vegan bukan untuk membenci yang tidak vegan, sama dengan tujuan berjilbab bukan untuk membenci yang tidak berjilbab. Tujuan mencintai sesuatu itu bukan karena membenci lain. Cinta itu nggak butuh syarat.”

-         “Tujuan manusia hidup bukanlah mencari kebahagiaan, tapi menjadi sadar. Sadar bahwa dirinya sedang dirundung masalah, sadar bahwa dirinya sedang bahagia,”

-         “Kebahagiaan adalah hal yang sangat sederhana, seringkali kita tidak menyadari sudah merasakannya,”

-         “Membenci sesuatu sama dengan membawa beban. Bila kita tidak melepaskannya, dan menambah kebencian yang lain, hidup kita akan berat dengan hal-hal itu,”

-         “Sebenarnya manusia tidak pernah mempunyai masalah dengan hal-hal apapun, mereka hanya bermasalah dengan diri sendiri,”

-         “Perilaku manusia yang membenci manusia lain yang melakukan kesalahan sebenarnya berada di tempat yang sama. Mereka sama-sama saling membenci.”

-         “Bumi adalah ibu kita, kita harus selalu terhubung dengannya agar merasa dekat dan sehat, (ketika ditanya mengapa suka tidak memakai alas kaki).

Gobind kemudian bercerita tentang dua suku yang mempunyai cara unik dalam menyelesaikan masalah di kelompoknya. Sialnya aku lupa kedua namanya :(

Yang tau kabari, ya :( (serius)

-         Suku pertama dari Afrika, namanya kalo nggak salah Babemba (makasih Mbak Dyah). Di sana ketika ada salah satu anggota sukunya melakukan tindakan asusila/kejahatan lainnya, si kepala suku akan mengumpulkan semua anggotanya. Setelah berkumpul mereka lalu membuat lingkaran sambil berpegangan tangan, si pesakitan akan diam di tengah-tengah mereka. Kemudian satu persatu akan memeluk si pesakitan, keesokan harinya mereka menerima si pesakitan menjadi anggota sukunya lagi. So sweet.

-         Suku kedua datang dari NTT (kalau tidak salah). Di suku ini hampir sama dengan suku sebelumnya, bedanya setelah membuat lingkaran, satu persatu dari mereka akan menghampiri si pesakitan dan memberitahukan kebaikan yang pernah si pesakitan lakukan kepada masing-masing anggota suku. So sweet lagi.

Banyak sekali sebenarnya yang beliau bagi. Tapi kapasitas otakku segini-gini saja, maka setelah talkshow aku berniat membeli buku karangannya, Happiness Inside. Di akhir acara, pihak promosi kantor meminta materi talkshow kepada Gobind. Dia mengangguk dengan lembut.

                “Semua yang saya miliki jadi milik bersama, silakan kalau mau bagi dengan yang lain.Toh, manusia hakikatnya tidak memiliki apa-apa. Kecuali foto pribadi saya dengan istri, tidak usah, ya.” begitu katanya sambil berkelakar. Aku langsung teringat beberapa pemateri yang tidak mau membagikan materinya kepada yang lain demi hak intelektual. Tapi, ya, aku nggak bisa menyalahkan juga, sih. Iyalah, siapa gue?

Sebenernya, aku hampir tidak percaya ada orang dengan keyakinan ekstrem seperti Gobind bisa hidup di perkotaan, di era ini. Dia menolak kemapanan. Maksudnya seperti tidak menggunakan alas kaki dan berhenti menggunakan bahan-bahan kimia untuk membersihkan diri dan melihat semua hal dengan jernih (sekalipun itu salah).

Sambil menunggu materi tersalin, aku dan Teh Anti menguntit. Pertama, masih ingin bertanya, kedua ingin berfoto.

                “Mas, kalau lewatin aspal panas, dong?”

                “Iya, tapi, kan, kita harus terus jalan biar nggak panas. Sama dengan hidup, kalau ada masalah harus terus jalan, jangan diam di tempat,”

                “Mas, kalau naik pesawat, lewat imigrasi, gimana nggak ada yang komplen?”

                “Nggak, tuh. Semua kekhawatiran yang sebelumnya saya pikirin nggak ada yang kejadian. Untungnya. Tapi, kalau harus masuk ke ruangan yang benar-benar harus pakai sepatu, ya, saya pakai sepatu. Tapi, bawahnya bolong.”

                “Mas, kalau mandi gantinya apa?”


                “Bisa pakai kopi, atau garam, lemon juga. Pokoknya bahan-bahan yang bisa kita makan, ya aman juga untuk alam.”

                Sementara itu di antara suara teman-teman yang sedang mengobrol dengan Gobind, aku masih mengawang-ngawang berpikir bagaimana Gobind memandang hari akhir, dan sampai akhiratkah kesadaran manusia ada?

--
                Lalu, aku dan Teh Anti meminta foto bareng sambil duduk agar nampak sepantar. 

Comments

Popular Posts