Nenek Itu Meninggal

“Yah, masih inget nggak nenek-nenek yang tinggal di sini?” tanyaku dari balik pundaknya.
Aku dan suamiku saat itu sedang naik motor melewati persawahan di belakang rumah paman, di Cibiru, Kabupaten Bandung. Kami memang sudah lama tidak lewat jalan ini sejak menikah dan pindah kontrakan ke Cinunuk. Jadi di pinggir sawah ini biasanya ada nenek berkerudung dan berkacamata selalu nangkring di depan rumahnya yang berhadapan dengan sawah yang luas. Si nenek ini biasanya ditemani cucu laki-lakinya mengurus sawah bersama. Kalau ada orang yang lewat nenek itu pasti menyapa dan mengajak ngobrol. Sejak aku tinggal di sini di tahun 2007, sawah ini masih berwujud sama. Belum berubah bentuk menjadi perumahan seperti nasib pesawahan lainnya di daerah lain. Hilangnya nenek ini membuatku bertanya-tanya.
                “Iya, masih inget. Kenapa gitu?” kami pun lalu berbelok tajam sampai akhirnya sampai di jalan raya.
                “Dia udah meninggal ternyata, beberapa bulan yang lalu. Gara-gara nginjek keong jadi tetanus. Cucunya juga yang suka bareng dia ngurusin sawah meninggal juga. Meningitis.” ujarku. Aku dapat info ini dari istri pamanku. Setelah aku bertanya keberadaan nenek yang ramah itu dan cucunya kemarin malam kepada tante.
                “Emang pada nggak ikut BPJS?” tanya suamiku. Motor pun melewati rumah-rumah. Bersama dengan kami, banyak mahasiswa yang berjalan kaki menuju tujuannya. Kami sendiri menuju tempat kerja.
                “Katanya sih nggak mau pada ke dokter. Neneknya dibawa ke dokter pas keadaan udah parah banget. Kalo cucunya di rumah aja. Nggak punya uang mereka cenah. Meningitis gitu, lho.” Jawabku sambil membayangkan Alm. Olga Syahputra yang koma beberapa bulan akibat meningitis sebelum akhirnya meninggal.
                “Itu RT/RW nya kumaha? Sekarang mah udah nggak ada alasan lagi orang miskin nggak bisa berobat,” tanya suamiku mulai emosional.
                “Dosa pemimpin ini kalo emang si nenek sama cucunya nggak berobat karena nggak punya uang,” sambungnya.
                “Makannya tanggung jawab pemimpin berat pisan. Kan ngeri.” Suamiku mengakhiri pembicaraan setelah motor kami masuk ke jalan besar.
               Kami pun diam.
               Aku sendiri masih terasa sesak karena nenek yang biasa kusapa sejak aku SMA itu meninggal tanpa kuketahui.

               

                 

Comments

Popular Posts