Keberanian dan Semua yang Berhubungan dengannya

Tiba-tiba aja kangen nulis berita. Walaupun cuma dua tahun punya pengalamannya, dan itu pun jauh dari pengalaman wartawan-wartawan senior lain, tapi setidaknya bikin saya punya kebanggaan tersendiri, “Aku udah pernah ngobrol sama dia lho,” gitulah, ya. Walaupun entah da nggak akan ada yang nanya juga.

Mewawancarai seseorang yang sebelumnya nggak kita kenal, apalagi dia publik figur ternyata susah-susah gampang. Selain soal keberanian, kalo kita gagap itu jadi masalah yang besar juga (kayak saya, tapi sejak berani wawancara, gagap saya mulai hilang huehehe), belum lagi menghadapi narasumber yang pemalu, udah we tinggal nulis krik-krik-krik di beritanya. Apalagi saya yang notabene amatiran karena kuliah sastra, boro-boro mikirin liputan, yang ada tiap hari kerjaannya baca review buku karena males baca novel L

Nah, saya mau bagi-bagi cerita beberapa orang-orang keren yang sebelumnya nggak pernah saya bayangin bisa wawancarain. Here we goes.


  1.   Fahd Djibran - Penulis
Fahd Djibran yang sekarang nama penanya diganti jadi Fahd Pahdepie adalah orang keren yang pertama saya wawancarai. Pas itu saya lagi magang di Suaka, dan A Ojan dengan jahatnya nyuruh saya wawancara Fahd. Jadi, rumus untuk anak persma (pers mahasiswa) adalah setiap acara harus jadi berita. Kalo ngga mending resign aja hahahaha.

Waktu itu saya semester empat/lima di tahun 2011. Bareng-bareng dengan awak Suaka yang lain saya ke Pameran Buku di Landmark, Braga. Dalem hati udah degdegan, semoga bukan saya yang disuruh liputan. Saya sempet kecetus untuk nyamar jadi pegawai stand buku atau pura-pura jadi pengisi talkshow tapi nggak kejadian. Saat itu Fahd lagi isi workshop. Fahd memutarkan video cerpen. Gabungan antara fotografi, cerpen, video dan lagu. Saya sampe nangis baca tontonannya.

Pas di sana, bener aja, firasat itu kejadian. Akhirnya saya wawancara Fahd sama Teh Nirra. Lucunya, posisi wawancaranya saat itu. Jadi Fahd duduk di kursi, saya berlutut di depannya sambil ngerekam, Teh Nirra duduk di samping Fahd sambil nulis. Absurd.

Pulangnya saya nggak bisa tidur karena belum bisa langsung nulis langsung beritanya. Akhirnya, saya terpaksa browsing tentang Fahd. Ternyata banyak orang Bandung yang hebat-hebat, ya. Saya selama ini hanya tau orang-orang modis, atau mereka yang punya mainan mahal yang dianggap keren. Langsung mindset saya tentang keren berubah total. Coolness is beyond the look. Its about the brain.


2.       Pak Fisher Zulkarnaen– Pejabat Kampus, Dosen Komunikasi

Siapa yang sangka saya bisa wawancarain dia? Rumput yang bergoyang?

Dalam sejarah karir saya di Suaka (padahal cuma dua tahun) keenakan di rubrik fresh bikin saya mentok dalam hal genre peliputan. Emang dari awal saya kurang mampu nulis yang berat-berat, disuruh nulis pesenan ke warung aja suka amnesia, yang salahnya malah dipupuk. Nggak pede, sih, intinya. Jadi saat itu dengan terpaksa saya wawancarain Pak Fisher ini yang notabene rada ditakuti sama mahasiswa. Dia adalah penghubung kontraktor IDB dengan kampus. Kami di Suaka, saat itu lagi evaluasi, kenapa target pembangunan kampus yang udah lewat itu terus-terusan molor.  

Dasar nasib, Pak Fisher ini sebenernya udah punya waktu untuk diwawancara temenku, tapi karena ada halangan jadi saya yang gantiin. Jadi, dulunya, tuh, temenku ini udah susah payah nyari waktu luangnya si Pak Fisher dan nggak pernah jodoh, tiba2 ketika si Pak Fisher bisa diwawancara giliran temenku yang nggak bisa. Konspirasi banget, kan?

Saya yakin, narasumber harus percaya sama kita agar dia bisa menyampaikan informasi dengan baik. Sama seperti hubungan kita dengan calon mertua, kalo mereka udah percaya sama kita yakin, deh, camer kamu pasti seneng ceritain segala hal tentang calon kamu (ini tulisan apaan, sih?). Kita juga harus punya persiapan meliput dia, takutnya ada info2 yang dipelintir, apalagi untuk wartawan amatir kayak saya yang banyak orang pikir liputannya paling sama kayak ngerjain tugas. Padahal, kan ini kerja profesional. Asegh.

Pak Fisher saya wawancara lebih dari satu jam, dia malah jadinya curhat, mungkin dia kesel sama mahasiswa (sok) aktivis itu yang bisanya cuma demo nuntut pembangunan kampus cepet beres tapi bahkan mereka nggak pernah ngajak ngobrol soal ketuntasan proses pembangunan sama dia. Kami ketawa2, dia sampe liatin data2 dari IDB yang bertumpuk2 itu. Yang keliatannya nggak sembarang dia liatin ke orang. Liat tumpukan bindex-bindex itu yang saya pikirin malah, kayaknya bisa nih dibikin jadi rumah-rumahan. Hehe. Akhirnya setelah dapet datanya saya kasihin, deh, ke temen, dia yang nulisnya. Wakaka. Enak, kan, liputan tanpa nulis.


3.       Cholil – Vokalis Efek Rumah Kaca

Sama seperti kejadian wawancara Pak Fisher, ini juga by accident. Di tahun 2012, di akhir kepengurusan saya di Suaka, kami punya projek akhir tahun bikin majalah. Temanya tentang nasionalisme. Di sana ada rubrik wawancara ekslusif untuk halaman depan. Nggak mau menyianyiakan, Iqbal berinisiatif untuk mewawancara Cholil. Dia udah punya e-mail pribadinya. Setelah jadi koresponden sebuah media nasional, Iqbal punya banyak akses ke berbagai orang penting, dari mulai menteri, sampai anak band termasuk Cholil. Kemudian dia pun bikin janji untuk wawancara Cholil yang kebetulan ada acara di Bober Tropica bareng sama A-Mild yang kerja sama dengan Common Room. Tapi, di hari yang dijanjiin, Iqbal nggak bisa liputan karena belum beres liputan sebelumnya. Maka dengan terpaksa, karena aku saat itu berada di jarak yang paling dekat dari tempat magang di Museum Asia Afrika, saya pun ngegantiin dia. Pakaian jadi hal pertama yang saya notice, karena style-nya ngantor banget -_-

Akhirnya saya sampai di Bober Tropica dan bener-bener seneng karena acaranya keren. Di meja registrasi saya nggak ambil jatah rokok yang ditawarkan karena, ya, nggak ngerokok. Setelah denger Jimi The Upstairs, Cholil dan siapa, ya, lupa kasih materi soal perkembangan musik di jaman modern. Kami dihibur oleh Teman Sebangku yang ternyata diketahui gitarisnya adalah sodaranya Iqbal. Mereka alirannya folk apa gitu, tapi aku nggak terlalu suka karena maksain kedengerannya. Terlalu segmented. Barat banget. Ini kayak folk di pinggir kota gitu, tradisional banget. Hadirin yang dateng juga gaul-gaul karena semuanya pada ngerokok dengan style baju yang sama semua. Hipster area. Seriusan sama semua. Mereka lebih terlihat seperti anak sekolah karena nampak berseragam; sepatu ke british-british-an, kemeja-kemejaan, tees band favorit, bir, kacamata vintage, bold lipstick, rambut bob, de el el. I was totally felt like an alien right there. Tapi, actually, saya malah jadi menonjol dari yang lain karena style kantor yang dipake saat itu. Geer tingkat Borobudur. Di sana juga banyak banget musisi indie Bandung yang pada ikutan, beberapa di antaranya mungkin temu fans. Salah satunya Bottlesmoker.

Setelah Cholil duduk di tempatnya, saya nyodorin sesobek kertas, “Ada waktu kapan, mas? Saya Alin yang gantiin Iqbal yang mau wawancara,” Jijik, ya? Kayak FTV. Haha, tapi that was happened. Lalu Cholil ngajak saya mojok untuk wawancara. Iya mojok. Kan, rame banget, tuh, di sana, otomatis kita mojok. Haha.

Sebelum kita duduk, Cholil ngenalin saya sama temen-temennya, salah satu di antaranya adalah Risa Sarasvati. Entah apa maksudnya dia ngenalin saya, entah karena ngece atau karena pengen ngenalin. Nyahaha terserah dia. Alih-alih memulai wawancara dengan mengawali pembicaraan dari lagu dia, saya malah sibuk sama grogi. Gile, gue mojok dong sama Cholil, gile dia ambilin bangku buat gue. Kyaaaaaah! Norak banget pokoknya. Saking seriusnya ngobrol, saya ampe lupa ambil foto. Pulang-pulang, Iqbal marah-marah. Ada, sih, yang motret kita kayaknya seksi dokumentasi.

“Kenapa nggak nyante, sih, wawancaranya, kenapa nggak mulai dari lagu dia yang Menjadi Indonesia?” gitu kata Iqbal ketika pulang sambil nyerahin transkrip wawancara.

Namanya juga grogi, mas. Suka amnesia.


4.       Irfan AmaLee – Senior Suaka, CEO Mizan Application Publisher, penggagas Peace Generation

Yang paling bikin bangga dari proses peliputan adalah ketika komunikasi kita dan narasumber terjalin baik sampai liputan selesai dan setelahnya dan setelahnya. Kang Irfan adalah senior saya di Suaka. Dia yang kasih nama LPM kami jadi Suaka (Suara Kampus). Dulu dia adalah wartawan kampus, layouter, ilustrator dan pemimpin redaksi. Yang sempet kedenger dari temen-temen seangkatannya, dia nggak tamat di Suaka-nya karena tergoda untuk membina anak-anak jalanan. Keren, ya. Dia juga penampilannya anak muda banget. Kagak ada cewek-cewek yang percaya kalo dia udah punya anak dua. Bahkan saya. Setelah wawancara Kang Irfan, pandangan saya tentang anak muda yang sukses mulai berubah. Menjadi aktivis itu adalah awal untuk kesuksesan kalau kita tahu keinginan masyarakat. Nggak cuma ngerasa keren sendiri. Misalnya, situ aktivis lingkungan tapi ngerokok. Kan, ngaco.   

Pertama kenal dengan Kang Irfan itu lewat video TEDX dia di Youtube. A Hamdan yang ngenalin akang ini ke anak-anak baru termasuk saya. Di sekre yang sempit, kotor dan bau itu saya seperti terhipnotis nonton video TEDX Kang Irfan tentang Peace Gen (lihat di Youtube, ya), sebuah NGO bikinan dia yang fokus sama masalah2 toleransi beragama dan perdamaian, inspiring indeed. Saya teriak dalam hati, POKOKNYA HARUS JADI ORANG KAYAK DIA.

Singkat cerita, karena nggak ada yang bisa nganterin saya ke kantornya, saya pun naik angkot dari kampus. Jauh? Banget. Kantor beliau di Jl. Jakarta dan ketika sampai saya bahagia banget soalnya saya jalan kaki dari perempatan Riau Cicadas ke kantornya, baru inget gitu kalo Jl. Jakarta, kan, searah -_-. Pas sampai, beliau langsung minta izin solat dulu.

Krik-krik moment saya ketika ditinggalin solat adalah dengan melihat interior ruangannya dengan dalam. Mendesain ruangan kerja sesuai keinginan adalah keinginan semua umat manusia. Apalah daya kalo ruangan kerja saya masih sharing dengan yang lain, udah gitu sempit (sabar woy) dan belum bisa ubah sesuai jiwa saya. Hehe. Ruangan kerja Kang Irfan anak muda banget. Pas masuk itu ada ruang tamu kecil karena dia kan CEO, ya, yang banyak tamunya. Dan ada block poster tiga tokoh favorit dia, John Lennon, Mahatma Gandhi dan Steve Jobs yang ditilik-tilik semuanya berkacamata bulat (yang dengan sekejap mengingatkan saya kepada Iqbal). Kang Irfan banyak menyimpan poster Steve Jobs beserta berbagai mind map-nya. Juga beberapa quotes yang ditempel di tembok, bikin saya betah dan nggak mau pulang. Loh.
 “Saya, mah, orangnya pemalu, Lin,” wawancara dimulai dengan ungkapan ini.

Tapi saya akhirnya bisa wawancara beliau sampai hampir dua jam. Hehe.

Saya wawancara beliau untuk memuat profilnya di tabloid kampus, setelah perdebatan panjang di sekre, kami memilih Kang Irfan jadi tokoh inspiratif pertama kampus kami yang semestinya diketahui oleh civitas akademika. Soalnya alumni-alumni yang sukses di luar rata-rata mereka gak terlalu/kurang dikenal/dihargai sama civitas akademikanya. Alasannya? Banyak, bisa karena kesibukan jadi si alumni ini gak punya waktu ke kampus, belum ada kesempatan atau ya merasa kehidupan mahasiswanya sudah selesai dan gak ada niat untuk merasa terlibat untuk perubahan almamaternya. Berat, ya. Hehe.

Saya udah nulis macam feature gitu untuk dimuat di tabloid, tapi siapa sangka, dipotong banyak banget karena tempatnya muat untuk 1000 (kalo gak salah) karakter.

--

Jadi intinya, modal punya banyak wawasan cuma satu. Kamu berani. Tanpa keberanian gak akan ada buku yang bisa kita baca, kita gak akan pernah tahu banyak informasi dari internet dll. Tanpa keberanian gak akan ada ilmuwan2, tokoh2, wartawan2,  yang bisa ngelaksanain tugas mereka dengan menulis dan menyebarkannya ke kita2 ini.

Cuma keberanian yang bisa membuat Nabi Muhammad Saw. bertahan ketika malaikat Jibril menurunkan wahyu buat Dia, diceritakan bahwa nabi sampai menggigil ketika menerima wahyu tersebut karena saking beratnya. Tapi beliau ingat bahwa wahyu ini kelak akan jadi petunjuk untuk umatnya sampai akhir zaman, cuma Dia yang bisa melakukan itu.

Cuma keberanian yang bisa membuat seorang ibu berjuang melahirkan anaknya, bahkan sampai mempertaruhkan nyawanya.

Cuma keberanian yang bisa membuat Gandhi bisa berjuang melawan penjajah sampai dia meninggalkan semua kemapanannya.

Dan cuma keberanian yang bisa membuat seorang pemuda memutuskan untuk menikah di usia muda dan bertahan di antara tatapan nyinyir teman-temannya bahwa hidupnya tak akan berakhir ketika nanti ia memiliki anak. Ia nanti masih bisa belajar, diskusi, berpetualang kemana pun, bahkan nanti ada istri dan anak-anaknya yang akan ikut dengannya.


Cuma keberanian yang bisa membuat kita bertahan.

*lalu ada angin berhembus*

Comments

  1. aaah mau ketemu cholil *komennya ga penting.

    alin aku senyum2 baca paragraf akhir. dari sekian banyak kata-kata konklusinya kesitu juga ya :p

    ReplyDelete
  2. iyaa cholil keren banget ya ampoooon hahaha

    iyaya maksa ya teh hahaha, asa kudu disambungin wae sama makhluk yang satu itu :3

    ReplyDelete

Post a Comment

Popular Posts