Doa Pagi

“Doa pagi, Lin?” tanya Teh Yunny ketika aku baru aja buka pintu kantor depan. Aku mengangguk yakin. Padahal tangan udah dingin.

Malam sebelumnya-
                “Ayo, Lin. Harus dibiasakan walaupun belum persiapan. Gampang, kok.” hibur Kang Rama dan teman-teman redaksi yg lain. Saat itu kami sedang ngobrol di Whatsapp.
                “Iya, aku siap, kok, Kang. Cuma bingung aja mau cerita apa,” kataku. Pede.
Taunya tetep aja grogi -___-


Semua karyawan (tapi banyak juga yang tidak) sudah berkumpul sebelum kerja dimulai di lantai 1 gedung depan. Ini ritual rutin kantor kami, bahwa sebelum kerja dimulai doa pagi dilaksanakan. Pertama, untuk sharing. Kedua, untuk mengingatkan untuk berdoa karena namanya manusia kita kadang lupa berdoa untuk memulai setiap kegiatan. Ketiga, mengakrabkan diri, karena di akhiri dengan salam-salaman. Yang perempuan dengan perempuan, begitu juga yang laki-laki.

Saat itu semuanya menatap tajam. Glek.

Aku datang pas di pukul 08.00. Hari ini aku menggantikan tugas doa pagi temanku, Teh Dhea. Karena, untuk ke depannya, teteh bermuka oriental ini akan absen setiap Jumat untuk melaksanakan terapi Skoliosisnya.
                “Cerita aja, Lin. Sesuatu yang ada hikmahnya.” Begitu saran Kang Rama, editorku semalam via Whatsapp.
Maka, semalaman aku memikirkan kira-kira apa cerita yang akan aku bagi saat doa pagi nanti. Maunya sih cerita yang benar-benar aku alami dan tidak googling. Maka, tiba-tiba aku keingetan untuk cerita tentang pengalamanku menilai orang dari kesan pertama. Lalu, sebelum aku tidur kutulis outline ceritanya di ponsel, siapa tau aku lupa.
             
Lalu, aku pun berdiri di antara teman-teman karyawan. Sedikit minder karena disana akulah karyawan termuda (dan termungil) di antara mereka yang rata-rata sudah bertahun-tahun berada di penerbitan ini. Sementara aku, tiga bulan juga belum.


*bersambung, mau pulang dulu

Comments

Popular Posts