Gaya Hidup Cepat, Baikkah?
Salah satu kenikmatan bekerja di perusahaanku, adalah bahwa
kami bisa dengan gratis dapet artikel-artikel yang ditulis oleh para CEO atau
karyawan penerbit lain yang aliran tulisannya konsen kepada kajian dan hal-hal
yang ditekuni di penerbitan. Semudah klik notifikasi pesan yang masuk ke e-pop,
dan aku selalu dengan senang hati meluangkan waktu untuk membacanya di tengah
Senin yang padat.
Ada yang berbagi tentang desain buku, bahasa, termasuk
kajian umum. Salah satu artikel yang selalu saya tunggu adalah dari Mas Salman
Faridi, dia adalah CEO Bentang Pustaka yang bermarkas di Yogyakarta.
Hari ini Mas Salman berbagi artikel yang berjudul “Gaya
Hidup Lambat Adalah Kecepatan Baru”. Dia membahas buku In Praise of Slow karya Carl Honore yang diterbitkan Bentang pada
2006. Menurut Mas Salman, kecepatan dan gaya disiplin tinggi akan waktu
sebenarnya tidak begitu berdampak baik. Dalam kehidupan industri, para karyawan
akan dihadapkan pada jam kerja, deadline,
dan kesadaran profit.
Namun, di sisi lain mereka harus menghasilkan produk yang
berkualitas. Apakah semua itu bisa berdampingan? Sebenarnya bisa. Tetapi, pasti
ada yang dikorbankan.
Apa artinya passion
kerja jika harus meninggalkan keluarga dan kehidupan sosial? Semua jawaban akan
tergantung kepada diri kita masing-masing.
Pasar bergerak sangat dinamis, apalagi di zaman hi-tech seperti sekarang. Orang harus
secepat kilat beradaptasi dengan gawai yang mereka beli berganti-ganti sebelum
benar-benar menikmatinya. Orang-orang yang bekerja di bagian IT atau digital
selalu berlomba-lomba mengupdate perangkat lunak terbaru sebelum perusahaan
memilih orang yang lebih adaptif dari mereka. Bila atas nama pasar, maka semua
hal harus bergerak cepat, harus disiplin, jam kerja dari jam sekian sampai jam
sekian. Hidup untuk industri, ya kamu harus bergerak cepat. Hidup untuk kehidupan,
mungkin kamu bisa merasakan hal yang lain.
Pada hakikatnya manusia sudah ditakdirkan untuk menunggu
semua hal. Pernikahan, kelahiran, usia dan semuanya. Kritik tajam soal gaya
hidup cepat ini disorot di sebuah film sains fiksi berjudul Click (2006) yang dibintangi oleh Adam
Sandler. Diceritakan, si tokoh utama Michael Newman seorang arsitek yang secara
tidak sengaja menemukan remot yang bisa mengatur kecepatan hidup manusia. Remot
itu sengaja diberikan oleh Morty, malaikat pencabut nyawa yang sedih akan
kehidupan Newman dan ingin memberinya pelajaran. Pada awalnya Newman hanya
menggunakannya untuk bercanda, tapi lama kelamaan ia jadi picik. Ia jadi ingin
tahu sesukses apa karirnya dan men-skip bagian-bagian
buruk dalam hidupnya. Yang pada akhirnya berujung di kesimpulan bahwa hidup itu
ya dijalani, tidak dibuat cepat agar kita terhindar dari yang buruk, tidak
dibuat imun jika kita makan makanan yang tidak sehat, tidak dibuat kencang jika
memang kulit sudah menua.
Tapi, nampaknya menggiring orang ke pemahaman “pelan-pelan
saja” ini ini sulit untuk dijalankan di era cepat seperti sekarang. Namun, kita
bisa memilih untuk mempunyai dua gaya hidup tersebut (cepat dan lambat) secara
berbarengan. Jika gaya hidup cepat cocok dengan pekerjaan kita, maka untuk
mengimbanginya kita harus mempunyai kegiatan yang membuat kita relaks seperti
meluangkan waktu untuk jauh dari ponsel dan fokus kepada keluarga ketika wiken.
Pada kesimpulannya, saya akan ambil dari Mas Salman di
penutup artikelnya.
Lalu, bagaimana jalan keluarnya? Cermatilah apa yang disampaikan Buddha Gautama saat dihadapkan pada paradoks-padaroks itu. “rahasia kesehatan tubuh dan pikiran bukanlah dengan menangisi masa lalu, dan mengkhawatirkan masa depan. Akan tetapi, hiduplah dalam momen sekarang, saat ini, secara bijak dan penuh ketulusan.” Tentu saja, perlu saya tambahkan disclaimer, di akhir tulisan ini, bahwa semua fatwa kebaikan itu memang jauh lebih mudah diucapkan daripada dilaksanakan.
*tulisan ini dibuat bukan sebagai pembenaran karena suka
telat masuk kantor lho, ya :P
Comments
Post a Comment