Apa yang Diinginkan Ketika Kamu Menikah?
Dulu, ketika mau menikah, aku dan mantan pacar (yang
sekarang jadi suami dan calon ayah CIYE) sempat bikin rencana untuk menikah dengan
konsep privat dan pesta kebun. Setiap hari rasanya kerjaanku cuma browsing di Pinterest soal tema-tema
pernikahan yang banyak diimpikan banyak perempuan abad ini. Tapi karena menikah
adalah menyatukan banyak kepala akhirnya terbukalah diskusi antarkeluarga di
antara kami.
Pertama, ada usulan untuk akad nikah aja di rumahku dengan konsep pesta kebun di belakang rumah (fyi, jarak dari lamaran ke pernikahan kami hanya 3 bulan loh =_=), kebetulan aku punya halaman belakang yang lumayan untuk tamu 50 orangan. Tapi, karena dinilai nanggung karena pasti ada resepsi yang akan menyusul, yang notabene akan ada pengeluaran dobel maka usulan pertama kita lupain. Akhirnya ada opsi kedua.
Singkat cerita untuk opsi kedua ini kami akhirnya dapet spot di sebuah pesantren punya sahabat ibu yang kebetulan dekat dari rumahku di Cililin. Kami meminjam di area paling atas di pesantren itu, dekat dengan banyak pohon palem jadi semi pesta kebun (karena ada aula kecil) dengan luas yang gak terlalu lebar. Pemandangan di bawahnya ada waduk yang cukup besar, banyak pohon dan angin yang lembut, pokoknya adem. Alasannya? Aku nggak mau undang banyak tamu, biar nikahnya khidmat, gitu kalo kata orang-orang. Konsep sudah matang, aku sudah minta masukan ke pamanku yang arsitek soal penempatan stand dan alur masuk keluar tamu, kami sudah ngobrol banyak, termasuk mulai menghubungi EO alat-alat penyewaan pestanya dan dokumentasi. Saat itu sudah fiks bahwa aku akan menikah di tempat itu. Aku pun kembali ke Bandung, dan bekerja lagi, melupakan sedikit ke-hectic-an ide soal pernikahan sebentar agar bisa rileks karena sudah tenang dengan konsepnya. Soal budget, keluarga hanya menyiapkan budget sekitar 60 juta untuk resepsi ini.
Namun, tiba-tiba, ketika aku pulang ke rumah di suatu akhir
pekan, ibu membatalkan konsep pernikahanku. Aku ngambek luar biasa, aku udah nggak
punya waktu lagi untuk mikirin ini, plus karena biaya kami yang seadanya dan
gak pake EO. Aku ngadu ke pamanku, yang anehnya dia malah belain ibu.
“Coba, tanya lagi kenapa Ibu ngebatalin konsep awalnya, Lin,” usul pamanku demokratis.
Akhirnya sambil kesal aku minta penjelasan ibu. Yang
jawabannya itu selanjutnya (sampai hari ini) bikin aku mikir panjang tentang
apa sebenarnya yang kita inginkan ketika menikah.
Sampailah aku di h-1 pernikahan, ibu open house untuk teman-teman dan tetangganya yang tidak bisa hadir
di pernikahanku esok hari, saudara-saudara dan tetangga dikerahkan untuk
berlangsungnya rangkaian acara pernikahan dari hari ini sampai besok, aku
terharu, kalau aku tinggal di kota, aku nggak mungkin dapet banyak pertolongan
seperti ini.
Aku hanya mencetak undangan 400 undangan untuk tamu dari
keluargaku dan keluarga suami, namun 60-70% tamu nampaknya datang dari pihak
keluargaku, yang notabene adalah hal yang wajar karena pernikahan itu yang
hajat besar adalah dari pihak perempuan. Hitungan 400 undangan ini akan dikali
dua untuk penghitungan porsi makanan, jadi kami menyiapkan sekitar 800 porsi
makanan dengan menu tradisional sunda kesukaan keluarga kami untuk para tamu.
Karena kami tinggal di desa, dan ibuku adalah seorang kepala sekolah SD, dia punya banyak relasi, apalagi dia
termasuk wanita karir yang aktif, bapakku juga, jadi pasti akan banyak tamunya,
belum tetangga dan keluarga besar, termasuk tamu dari pihak suami. Pusing? Iya.
Aku melaksanakan pernikahanku akhirnya di lapangan di
pesantren yang sama dengan rencana awal dengan sederhana, jauh dari hasil
browsingan yang sudah aku kumpulkan dari internet. Pertimbangan lokasinya
adalah karena di sana parkirnya luas, dan orang nggak akan mentok kalo sudah
dari lokasi pernikahan, mereka bisa ke masjid, dan karena suasananya adem
karena berada di pegunungan, tamu dari luar kota nggak akan bosan. Atas
pertolongan Allah dan buah dari silaturahmi keluarga, kami diberi banyak
pertolongan oleh teman-teman orangtuaku, bagian keamanan dan kebersihan
dikerahkan dari santri, termasuk parkir. Kami juga tidak menyewa tempatnya,
biaya sewa dialihkan untuk berbagi makanan dan infaq untuk santri yang kebanyakan
dari mereka adalah yatim piatu.
Tamu yang datang juga banyak sekali, 800-1000 orang kurang
lebih, kebanyakan dari mereka tak aku kenal karena mereka kenalan orangtuaku,
panggung hiburan yang semula aku larang keras untuk dangdutan juga pada
akhirnya kecolongan. Hehe. Teman-teman dari Suaka, SMP, SMA, plus teman-teman suami datang dari akad. Cililin itu jaraknya sekitar dua jam dari Bandung, jadi aku terharu. Plus Teh Anti dan suami juga datang, disusul teman-teman kantor. Merinding :)
Ini kata-kata ibuku yang selalu terngiang dalam kepalaku
sampai hari ini.
Menikah itu kabar
bahagia, di mana di agama merupakan hal yang wajib untuk menyebarkan kabar
bahagia itu, selain untuk menghindari kita dari fitnah, itu juga doa buat kita.
Itu alasannya kenapa Ibu kurang setuju dengan konsep pernikahan awal kamu yang
privat begitu. Lebih baik ada biaya lebih sedikit untuk tamu yang lebih banyak
daripada beda sedikit tapi tamunya hanya beberapa orang. Undangan pernikahan
akan selalu jadi ingatan buat teman-teman kamu, teman-teman ibu, dan jadi
doa-doa buat kita.
Lalu, soal panggung hiburan yang jadi di luar kendali karena
banyak bintang tamu yang tak diundang, ibu cuma tersenyum kecil ketika aku komplen
soal ini.
Toh, mereka datang
sendiri, bawaan dari A Iman (staf guru yang pegang keyboard selama acara). Mereka
nggak dibayar, nggak apa-apa rada ribut sedikit, yang penting semuanya ingin
ikut menghibur, ingin berpartisipasi, semuanya ingin berbahagia buat kita.
Jadi, cuma kamu yang bisa menjawab dari dalam hati, apa yang
diinginkan ketika menikah. Berbagi kebahagiaan dengan orang banyak atau
berbahagia hanya bersama pasangan kamu J
Itu aku dan suami ketika masih kuliah dan sudah mulai berencana menikah sejak pertama kenal di 2012 |
aliiin..hahaha
ReplyDeletebener banget emang, aku juga pengen private supaya lebih khidmat mungkin yah. Tapi hari H kerasa banget kalo lebih banyak yang ngedoain, serasa lebih tenang hati.
alhamdulillah ya teh, kapan lagi didoain sama banyak orang :D
DeleteAku kepo, ternyata tulisannya sederhana tapi bermakna. Jangan sering-sering nulis kayak gini teh, aku takut tergoda buat nikah juga, bhaaaaak
ReplyDeletealhamdulillah hahaha, bagus atuh kalo kamu kabita isti, berhasil berarti :D
ReplyDeleteThis comment has been removed by the author.
ReplyDelete