Berjejaring dengan Bijak Bersama Mas Nukman Lutfi
Jumat, 6 Februari 2015
Sore ini kantorku kedatangan tamu dari luar
kota. Dia akan mengisi di gedung depan bersama para
pegiat media sosial yang sudah melakukan registrasi di
minggu-minggu sebelumnya. Kutebak banyak dari mereka
pasti admin-admin media sosial. Saya sendiri saat itu nggak terlalu tertarik karena lagi banyak
kerjaan (ciye). Tamunya adalah Nukman Luthfi yang banyak orang bilang adalah pakar media sosial Indonesia. Ada dua
hal yang terlintas di benakku:
- “Itu Nukman Luthfi kader partai bukan? Asa sering denger”.
- “Pasti dia bapak-bapak, ya?”
Kutinggalkan surel yang sedang diunggah dokumen sebesar 30 mb-an untuk teman saya yang mau ke Bologna Book Fair. Menuju common room, saya pergi sambil bawa ponsel, kan
judulnya talkshow tentang media
sosial.
Perkiraanku ada yang salah dan benar.
Pertama, he is absolutely not a partij cadre,
I don’t see it even a little, dan kedua dia adalah bapak-bapak.
Ketika saya datang, rupanya ini sesi kedua talkshownya. Sesi pertama pesertanya cuma
pegiat sosial aja, yang kalo diperhatiin sepanjang talkshow gak ada yang lepas dari gadget-nya. Sesi kedua ini
ditambah beberapa karyawan.
Mas Nukman ternyata adalah lulusan Teknik
Nuklir UGM which is have a thousand miles
away of distance from what he does recently. Beliau sangat ramah dan senang guyon.
Diinget-inget, kalimat yang paling dia sering ulang ada dua. “Namanya juga
orang ganteng...,” dan “Kalo orang ganteng biasanya emang gitu ...”. Kesel,
kan?
Sebenernya yang dibagi kepada kita semua
biasa aja. Karena ada banyak rasa, warna, bentuk, dan kegiatan yang belum
bernama di dunia ini, dan Mas Nukman adalah salah satu orang yang punya waktu
untuk mendokumentasikan hal yang dia amati dengan apik, menelaahnya dengan
serius dan menyebarkannya pada khalayak ramai. Sosial media.
a. Apa Tujuan Kamu Bikin Media
Sosial?
1. Branding
Diskusi kami diawali
dengan membuat contoh perilaku tweople
antara yang punya banyak pengikut dan yang ngga. Contohnya saat itu adalah seorang pebisnis sepatu
yang punya 8000-an pengikut, dan saya yang hanya punya 500-an pengikut (itu pun kayaknya banyak yang fiktif).
Pebisnis sepatu yang
diketahui jomblo itu menjadi model pengguna media sosial yang menggunakan media sosial dengan tujuan, menghasilkan pundi-pundi uang. Dia mengeluarkan semua kicauan dan berbuah duit, sepatunya laku.
Dan gue? Adalah salah satu perwakilan contoh pengguna media sosial di Indonesia
(mungkin dunia) yang paling banyak, cuma eksis, asal ada aja di Twitter. Kerjaannya cuma retweet. Sedikit benar. Cuma emang setelah
kerja udah mulai males ngurusin media sosial (asek).
Saya punya pendapat lain soal memiliki media sosial, bila Mas Nukman
menekankan bahwa media sosial adalah ajang branding
diri, nah kalo menurut saya nggak semua penggunanya harus melaksanakan itu. Apa
gunanya branding jika hanya sebatas di
media sosial aja, branding mah
gampang, namun apakah dirinya memang sebagus yang dia tampilkan di media sosial
ke kehidupan nyata? Justru itu pertanyaannya. Kecuali branding-nya dari orang lain, kayak di online
shop gitu pake testimoni. “Sist, Alin tuh cantik dan baik banget, lho, dia suka menabung..”
Penjahat juga bisa branding jadi ustadz kalo
gini ceritanya, kan. Jadi, saya rada gak setuju kalo
media sosial tujuannya untuk branding.
Kayaknya lebih asyik branding lewat hal-hal nyata seperti membuat tulisan, video,
kegiatan atau hal-hal artifisial lainnya.
Temen saya pernah bilang, nggak semua orang
di media sosial itu sekeren ketika kita ketemu orangnya langsung. Beberapa
orang memanfaatkan branding untuk
hal-hal negatif. Banyak malah.
2. Bersilaturahmi
Ini alasan mengapa
tiba-tiba banyak orang tua yang bergerombol pengen punya media sosial, ya
apalagi kalo bukan bersilaturahmi. Cuma pertanyaannya kenapa media sosial itu
banyak banget? Emang gak bisa ya dibikin satu aja lalu dibikin selengkap mungkin.
Udah mah banyak, ngunduh sendiri dan gede2 ukurannya, pake pulsa pula udah gitu harus
diupdate L
Intinya mah silaturahmi
dari satu jenis media sosial udah cukup. Tips dari saya, bikin segmentasinya. Misalnya, BBM buat temen kerja,
Whatsapp buat keluarga dan teman lama, Line buat online shop. Gitu. Contoh aja kok ini bukan fatwa. Asli contoh doang.
3.
Cari jodoh
Hal yang saya ingat dari
cerita Mas Nukman adalah, jaman modern ini telah merubah definisi cari jodoh
jaman orang tua kita dulu ke hari ini jadi jauh berbeda. Kata orang tua-orang tua dulu, jodoh
kita itu jaraknya cuma beberapa langkah dari rumah kita. Pengibaratan bahwa
mereka paling temen kecil kita, anak temen orang tua, temen sekolahan, dan kalo
ada yang dapet dari luar kota atau luar pulau yang bahkan belum pernah ketemu
jatohnya malah jadi ganjil atau emang keajaiban.
Jaman sekarang banyak yang
berjodoh dari media sosial sampe akhirnya menikah, beda negara lah, jarak
apalagi. Jadi berhubungan dengan yang pertama, bila kita punya media sosial
untuk branding cari jodoh yang
buatlah media sosial kamu jadi portofolio mini. Tapi, harus ingat nanti kalau
udah nikah, ubah portofolio kamu bukan jadi pencari jodoh lagi, oke? OKE??!!
*emosi*
4.
Cari kerja
Masih berkaitan dengan branding. Pendapatku masih akan sama
dengan apa yang sudah diungkapkan sebelumnya. Aku kurang setuju kalau media
sosial jadi salah satu bahan pertimbangan sebuah perusahaan untuk menerima
pelamarnya. Mungkin itu semua akan berpengaruh kepada pekerjaan apa yang akan
dilaksanakan. Make sure kalau mau
masukin media sosial ke cv, lihat dulu apakah perlu atau tidak. Karena beberapa orang hanya menggunakan media
sosial untuk bercengkerama aja.
b.
Jangan Selfie
berlebihan
Hati-hati,
jangan terlalu banyak memajang wajah kamu di media sosial. Kita, kan nggak tau
bakalan ada yang jahat sama kita. Adik kelas saya di Suaka sempet ngasih tau,
“Kalo foto, jangan terlalu unyu, dicantikin pake efeklah, hati-hati, lho,
tiba-tiba fotonya dipajang di web mesum. Mau?”
Jangan lupa,
lho, data yang sudah masuk ke jaringan internet akan jadi milik khalayak ramai,
kita nggak akan pernah tau foto kita yang tersebar luas itu ended up di mana. Jadi, ya, tiati, ya.
c.
Jebakan UU
ITE
Beberapa
hal diciptakan untuk tidak digunakan secara tidak berlebihan. Contohnya
penggunaan detergent yang terlalu banyak memang bikin baju bersih, tapi plus
bikin baju rusak juga. Sama seperti bermedia sosial, beberapa pengguna
memperlakukan media sosial layaknya sahabat yang bakal menyimpan rahasia kita.
Lupa dia kalo media sosial itu bikinan manusia. Makin banyak kita buka perihal
diri kita, makin banyak juga peluang-peluang negatif yang bisa orang gunakan.
Kata Mas
Nukman, banyaknya kasus-kasus terkait dengan pelanggaran UU ITE adalah karena
banyaknya jebakan yang banyak masyarakat yang belum melek internet. Atau
mungkin nggak nyari tahu juga, ya. Ini ada tips-tips yang beliau bagi:
-
Boleh
menilai, mengkritisi, tapi tidak memfitnah.
-
Hindari
sosial media saat sedang marah.
Ketika info datang silih berganti, ada baiknya kita selalu cari alternatif
berita lain agar pemahaman kita terhadap masalah yang akan dibagi di media
sosial bisa bijak. Ingat, tidak memfitnah. Memang, salah satu cara kepedulian
kita akan suatu hal adalah ikut menyuarakannya di media sosial. Saya adalah
salah satu yang sulit mengungkapkan sesuatu karena merasa tidak punya cukup
pengetahuan tentang apa yang akan dibagikan. Inget, lho, semua hal itu
dipertanggungjawabkan di akhirat, jadi kalo situ suka main share, retweet
hal-hal yang belum jelas asal-usulnya dan bikin pertengkaran hati-hati, ya. Sekarang
itu dosa sudah berubah bentuk jadi hal-hal yang gak kita sadari.
Comments
Post a Comment