Adaptasi :p
Waktu seperti tak pernah memberiku
waktu untuk mengeluarkan kata. Khususnya untuk sekarang. Dan lebih tepatnya
sekitar dua bulan ini. Smartphone
barunya kini lebih dari sekedar wanita penggoda buatku. Benda yang hampir
ditemui di setiap senti kota ini membuat spasi diantara kami. Lebih tepatnya
membuat jurang yang makin melebar. Jurang gaya hidup.
Berbagai cerita tentang pengalamanku
menjadi interpreter siang tadi di Museum, tempat dimana aku sedang melaksanakan
PPL (Praktik Profesi Lapangan) akhirnya kutunda lagi untuk kuceritakan padanya.
Keberanianku rupanya kalah dengan suara “PING!” yang terus bersahut-sahutan
mengalahkan suasana ramai saat itu di tenda bebek goreng dipinggir jalan
Dipatiukur. Sadar bahwa aku sama sekali tak bersuara, ia akhirnya menyimpan
lagi benda kotak seperti tempe yang berkelap-kelip itu.
“Gimana tadi di Museum?”
Seperti yang kuduga. Benda itu
memanggilnya lagi.
“PING!”
Kulihat ponselnya yang lain hanya
membisu di sebelah piring berisikan menu makan malam kami. Sesekali terdengar
suara low-bat yang memilukan hati.
Bila ia wanita, ia pasti sedang menangis sesenggukan.
Aku sedang berfikir bagaimana tuhan
membolak-balik pikiran manusia sebegitu cepatnya. Bagaimana seorang pencuri
insaf dan mengembalikan barang curiannya kepada sang pemilik gara-gara misalnya
melihat orang meninggal. Dan bagaimana orang yang anti-gadget dan smartphone
lalu berkoar-koar tentang tingkat kecerdasan orang Indonesia yang tidak
sebanding dengan konsumsi gadget-gadget itu tiba-tiba menjadi salah satu di antara
mereka.
Aku tahu bahwa semua ini berujung
pada kebutuhan. Kebutuhan akan informasi. Tapi, yang aku rasakan adalah bahwa
tidak mempunyai akun Facebook lantas tidak membuatmu dijauhi teman-teman atau
membuatmu diasingkan ke suatu pulau di daerah Samudera Pasifik karena tidak
update dengan hal-hal baru. Kembali ke soal kebutuhan. Jelas, kebutuhanku dan
kebutuhannya berbeda. Kini.
Smartphone-nya kini lebih dari
sekedar dunia realitas. Menjangkau masa lalunya, teman-teman segaya hidupnya,
berita, kampus, SMA, gosip, dunia dan banyak hal lain yang malas kusebutkan
satu persatu. Dunia realitasnya, aku, hanya setengok saja dari dunia aslinya
yang berada di balik layar berukuran 3 x 4 cm. Lebih dari sekedar mungkin, aku
takut bahwa benda ini mereduksi pikiran-pikiran jernihnya, mereduksi
pembicaraan-pembicaraan brilian tentang hidup yang biasa kami lakukan sambil
melahap surabi hangat.
Bandung, 11 Oktober 2012
lebih bahagia ketika smarphonenya menjadi barang antik yang selalu terseimpan dirumah :D
ReplyDelete